Minggu, 28 Desember 2008

Meraba peta komunitas seni rupa Indonesia

FX Harsono

Seniman sebagai mahluk sosial selalu berusaha berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakatnya, maka sejak seni rupa modern ada di Indonesia, komunitas seni rupa selalu tercipta dengan sendirinya. PERSAGI, kemudian tumbuhnya sanggar-sanggar, adalah bukti dari keinginan para seniman untuk berdialog dan belajar dari para seniornya. Pada awalnya sanggar adalah tempat bagi seniman muda untuk belajar pada seniman yang lebih senior. Sistem pembelajaran pada sanggar dikenal dengan cantrikisme. Dimana seseorang seniman senior dianggap sebagai patron yang yang harus dianut gaya melukisnya, pikirannya hingga gaya hidupnya. Tata-cara kehidupan komunal dipakai sebagai tata cara hidup anggota sanggar, sehingga privasi boleh dibilang sangat tipis. Pada awal tahun 1960-an sanggar-sanggar berada di bawah naungan partai-partai politik, sehingga ideologi partailah yang menjadi landasan penciptaan kesenian. LEKRA sebagai lembaga kebudayaan Partai Komunis Indonesia pada tahun itu sangat kuat. Sehingga sanggar Bumi Tarung yang berada di samping gedung ASRI, di Gampingan Yogyakarta, merupakan komunitas seni rupa yang paling kuat pada saat itu.

Dominasi ideologi partai menjadikan sanggar-sanggar sebagai alat untuk mensosialisasikan ideologi partai pada masyarakatnya. Kalau kemudian tudingan bahwa karya seni sebagai alat politik atau lebih dikenal sebagai politik sebagai panglima dalam karya seni, hal ini sangatlah beralasan. Perubahan besar terjadi setelah kalahnya PKI dari kancah perpolitikan dengan tuduhan makar. Sejak itu sanggar-sanggar dibawah partai politik menjadi tidak populer lagi, terjadi politik phobia atau trauma politik pada kalangan seniman. Hal ini dikarenakan banyaknya seniman-seniman eks LEKRA yang dipenjarakan atau dibunuh. Selain itu, kebijaksanaan pemerintah melakukan depolitisasi terhadap semua bidang dalam kehidupan termasuk kesenian. Hanya ada satu sanggar yang hidup yaitu, Sanggar Bambu 59 yang tidak bernaung dibawah partai politik. Sanggar ini melahirkan pelukis-pelukis muda yang potensial saat itu dan saat ini masih berbekas. Danarto adalah salah satu jebolan Sanggar Bambu. Kemudian yang lebih muda lagi adalah Bonyong Munni Ardhi, Siti Adiati, Murtoyo Hartoyo, Nanik Mirna, Ris Purwono dan saya sendiri. Dimana para perupa muda ini adalah eksponen Sanggar Bambu. Kemudian Dadang Kristanto juga jebolan sanggar Bambu.

Pada awal 1970-an, sanggar mulai dirasakan kurang bisa menampung aspirasi seniman muda pada saat itu. Sistem pendidikan cantrikisme, kehidupan yang komunal, visi kesenian yang dianggap terlalu kuno, menyebabkan sanggar mulai ditinggalkan. Pada 1972 di Yogyakarta mulai muncul kelompok-kelompok pelukis muda yang mencoba masuk dalam kancah seni rupa tanpa melalui aktivitas pameran dari lembaga pendidikan dimana mereka belajar atau galeri. Kelompok Lima Pelukis Muda Yogyakarta (KLPMY), yang merupakan cikal bakal eksponen Gerakan Seni Rupa Baru di Yogyakarta. Kemunculan KLPMY disusul dengan Kelompok Nusantara, yang terdiri dari Agus Dermawan & Suatmaji dll. Dan klimaks dari aktivitas perupa muda ini ketika Sanento Yuliman almarhum, mempertemukan KLPMY dengan Jim Supangkat dan kawan-kawan dari Bandung. Segeralah terbentuk Gerakan Seni Rupa Baru.

GRSB kemudian disusul oleh kelompok Kepribadian Apa atau PIPA, yang dimotori oleh Bonyong Munni Ardhi, Gendut Riyanto, Haris Purnama, Ronald Manulang, Redha Sorana dan lain-lainnya. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok yang paling radikal pada masa itu. Beberapa kali pameran selalu digrebeg polisi dan pameran pertamanya ditutup atau dilarang oleh polisi sebelum dibuka. Pasalnya dalam pameran tersebut terdapat gambar-gambar pornografi, namun mereka ngotot pameran ini dibuka. Akibatnya bisa ditebak, beberapa orang diinterogasi dan pameran ditutup. Kritik sosial sangat terasa dalam pameran ini, bahkan para dosen STSRI ASRI menggangapnya sangat vulgar dan tidak bermutu. Pada akhir 1970-an, tepatnya tahun 1979. Gerakan Seni Rupa Baru membubarkan diri. Tekanan demi tekanan pun mengakibatkan komunitas-komunitas seni rupa lainnya bubar.

Apabila kita amati gerakan atau komunitas seni rupa dari sistem kesanggaran hingga kelompok-kelompok, ada pergeseran ideologis. Sanggar lebih menekankan pendidikan dan pendidikan atau apresiasi seni ke masyarakat melalui pendidikan nonformal dan pameran di desa-desa dan kota-kota kecil. Gerakan sanggar dalam melakukan pendidikan dan apresiasi seni pada masyarakat diawali oleh Sanggar Pelukis Rakyat yang berdiri setelah kemerdekaan RI dan dimotori oleh Sudarso, Batara Lubis dan beberapa pelukis Yogyakarta. Mereka menyadari bahwa seni tidak dimengerti oleh masyarakat, kalau masyarakat tidak mengenal seni, maka seniman tidak bisa hidup. Maka masyarakat harus diperkenalkan pada seni. Mereka mengadakan pendidikan seni rupa secara cuma-cuma. Para pemuda yang tertarik untuk belajar melukis, mematung dan sebagainya boleh tinggal di sanggar tanpa bayar. Seniman sekaligus pengajar dengan tujuan pengembangan seni dipakai sebagai landasan berdirinya sanggar-sanggar, hingga kemudian sanggar dimana seniman tinggal dan berkarya dianggap potensial sebagai sarana untuk mengkampanyekan ideologi partai, karena seniman dekat dengan rakyat. Ideologi nasionalisme sangat kuat mewarnai karya-karya pada masa itu. Salah satu penolakan ideologi realisme sosial ala Soviet—yang di sarankan sebagai landasan penciptaan lukisan oleh LEKRA—menurut pematung dan pelukis Amrus Natalsya adalah rasa nasionalisme. Pencarian identitas nasional menjadi isu kuat disamping pengajaran terhadap masyarakat dan kampanye ideologi partai.

Sementara kelompok-kelompok pelukis muda dan GSRB lebih menekankan ideologi estetis yang menolak modernisme dan seni sebagai media kritik terhadap kekuasaan, yang pada waktu itu terasa menekan—terutama melalui institusi pendidikan. Sistem pendidikan juga memakai nilai-nilai estetika yang bersumber pada seni rupa modern, sebagai ukuran keberhasilan suatu karya. Penerapan nilai-nilai ini dirasakan sebagai belenggu yang mengungkung kebebasan berkarya. Selain itu hampir seluruh kritik di luar lembaga pendidikan pun dirasakan sebagai penerapan nilai yang tidak lagi mampu memberikan peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai estetika yang punya akar pada kebudayaan dan permasalahan masyarakat Indonesia.

Dalam hal ini, dirasakan adanya kontradiksi antara keinginan untuk mencari keindonesiaan dengan nilai-nilai Barat yang dipakai sebagai ukuran penilaian terhadap karya-karya seni rupa. Pada satu sisi penciptaan karya seni tumbuh dari kebudayaan, permasalahan sosial, politik dan ekonomi masyarakat Indonesia, dimana seniman hidup. Sementara penilaian karya seni memakai acuan nilai berakar pada kebudayaan Barat. Penolakan segala teknis penciptaan, media yang lazim dipakai oleh seniman ditolaknya, dengan tujuan untuk mencari nilai-nilai baru yang punya akar kebudayaan dan sosial dimana karya tersebut diciptakan, sehingga penilaian tidak lagi bersandar pada modernisme dari Barat.

*

Perkembangan setelah GSRB adalah keberpihakan perupa terhadap masyarakat yang tertindas. Pergeseran bentuk komunitas yang semula adalah komunitas perupa, kini komunitas berkembang antara perupa dan masyarakat yang termarjinalisasi dalam proses pembangunan pemerintahan Orde Baru, seperti yang dilakukan Moelyono dengan Seni Rupa Penyadaran-nya. Kesadaran emansipatif dan partisipatif antara seniman dan masyarakat sangat ditekankan. Seniman dan masyarakat berada pada posisi yang setara, masing-masing sebagai subyek dan proses penciptaan karya seni rupa bersifat kolaborasi. Pada kegiatan di komunitas metoda ini memberikan dampak yang nyata, dimana masyarakat merasa menemukan suatu media ungkap bukan saja tentang masalah yang bersifat individual, melainkan pada tingkat lokal. Bagaimanapun pada konteks ini, ada semacam kerancuan persepsi antara karya komunal dan individual, dimana pesan sosial tersebut dipertanyakan dengan menimbang aspek kepentingan individual dengan mengeksploitir gagasan kerakyatan.

Sejak akhir 1980-an ketika terjadi “Boom seni lukis” terjadi, banyak perupa merasakan adanya dominasi galeri komersial dalam menentukan nilai-nilai estetis suatu karya. Pasar yang seharusnya tidak merambah dan menjadi penentu nilai suatu karya seni tiba-tiba menjadi penentu yang cukup dominan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah seniman yang mana penciptaan karya seninya tidak berorientasi ke pasar. Berdirinya Galeri Cemeti, yang berdiri pada 1988, di Yogyakarta, sebagai galeri alternatif agar bisa menyediakan ruang bagi perupa-perupa muda yang tidak menghendaki nilai estetis suatu karya didominasi oleh pasar. Mulai saat itu muncul istilah galeri alternatif. Dimana galeri yang menampilkan karya-karya yang tidak bertujuan memenuhi selera pasar disebut sebagai alternatif, karena menawarkan karya-karya seni rupa yang bersifat alternatif. Jadi saat itu kebutuhan akan ruang pamer di luar galeri komersial dibaca sebagai kebutuhan akan ruang untuk menampilkan karya-karya bernafaskan pembaruan yang jauh dari pasar dan sekaligus untuk menciptakan komunitas seni rupa dan ruang dialog. Kesadaran bahwa aktivitas kesenian bukan hanya sekitar dunia penciptaan, melainkan juga membangun wacana, infrastruktur jaringan, pendokumentasian dan penelitian, maka Galeri Cemeti (yang kemudian berubah nama menjadi Rumah Seni Cemeti atau RSC) kemudian membentuk Yayasan Seni Cemeti.

Kiprah RSC menjadikannya sebagai barometer perjalanan seni rupa kontemporer di Yogyakarta dan di Indonesia hingga pertengahan 1990-an. Kehadiran RSC disusul dengan munculnya komunitas-komunitas lain di Yogyakarta. Sekitar pertengahan 1990-an di Yogyakarta mulai muncul komunitas seni rupa di luar RSC, seperti Apotik Komik, Taring Padi, Galeri Benda, Kedai Kebun dan Gelaran Budaya. Di Bandung, muncul galeri seperti Selasar Sunaryo, yang diikuti oleh kelahiran ruang-ruang seni lainnya seperti Rumah Proses, Galeri Padi, Galeri Fabriek, Komunitas Kopi Pait, Gerbong Bawah Tanah, Bandung Center of New Media Arts dan Jejaring Artnetwork. Hubungan-hubungan yang terjadi antara komunitas-komunitas ini menarik untuk dikaji, misalnya tegangan yang terjadi antara Cemeti dengan komunitas-komunitas lainnya di Yogya. Beberapa anggapan menyebutkan bahwa kehadiran komunitas-komunitas yang lain tersebut merupakan sebuah aksi tandingan terhadap posisi Cemeti sebagai ‘barometer’, semacam pertentangan ideologis di kancah ruang alternatif itu sendiri.

Dari deskripsi di atas, kita dapat menarik beberapa poin yang menarik. Pertama yang cukup menonjol adalah masalah ideologi. Jargon-jargon heroik nampaknya hanya berhenti pada tataran ideologis, sementara pada tataran proses penciptaan mengalami kendala. Kendala yang paling nyata yang saya lihat adalah kesadaran ideologis ini tidak merata dikalangan anggotanya, sehingga aktivitas yang disebut praksis tidak dilakukan dengan baik dan intensif. Demikian juga penolakan terhadap galeri tidak sepenuhnya diterima oleh anggotanya, sehingga beberapa diantara mereka aktif pada kegiatan beberapa galeri. Kendala lain adalah, kesadaran ideologis justru membelenggu mereka, sehingga keberanian untuk melakukan eksplorasi estetis tidak ada. Eksplorasi estetis bagi mereka adalah identik dengan aktivitas seni rupa yang bersifat elitis dan tidak mampu dipahami oleh masyarakat kebanyakan.
Pada sisi perkembangan lain, kerja kolektif dan ruang publik menjadi wacana yang membuka celah lain. Kerja kolektif (yang didasari semangat bermain) bisa berarti kerja bersama-sama setelah tema ditentukan, bisa juga masing-masing individu membuat karya dengan tema yang sama. Kegiatan penciptaan seni rupa ini barangkali merupakan cermin dari kehidupan individu dalam masyarakat modern. Dimana ikatan sosial mulai renggang, namun tidak sepenuhnya longgar, sementara peran dan kebebasan individu sebagai cerminan dari pengaruh kebudayaan modern dihargai.

Kalau kita tarik lebih jauh lagi, maka sangat mungkin bahwa aktivitas penciptaan adalah sebuah permainan yang dihasilkan dari ketegangan antara kebebasan individu dan ikatan sosial yang menghasilkan sifat komunal. Ikatan sosial dalam budaya tradisional yang dianggap penting dan merupakan ikatan kekeluargaan yang tidak bisa ditinggalkan, kini oleh generasi muda kota dianggap terlalu membatasi kebebasan individu dan kuno. Dikotomi antara modern dan tradisi dalam kehidupan masyarakat dirasakan bukan lagi sebagai konflik, tetapi sebagai keadaan yang sudah seharusnya terjadi. Bahkan oleh beberapa generasi muda dan disikapi sebagai pengkayaan khasanah budaya yang bisa memberikan inspirasi seni mereka.

Ruang publik juga dianggap sebagai ruang pertemuan yang strategis antara masyarakat dan karya seni selain itu ruang publik adalah alternatif bagi para seniman yang mengalami kesulitan untuk menembus galeri-galeri formal. Keterbatasan untuk melakukan negosiasi dengan pemilik galeri, keterbatasan untuk tampil dan berkomunikasi secara formal, semua ini ikut mendorong mereka untuk tampil di depan publik tanpa harus melalui jalur formal, yaitu galeri. Dengan demikian ruang pamer bukanlah satu-satunya tempat untuk memamerkan karya, mereka bisa berpameran di mana saja.

Sampai disini mulai terasa adanya pergeseran atau pengembangan terhadap arti ruang. Ruang tidak lagi diartikan sebagai sekadar tempat memajang lukisan, tetapi juga dimana sebuah komunitas bisa membangun suatu dialog. Ruang tidak lagi terasa angker, dimana hanya bolah didatangi oleh masyarakat berpendidikan dan kelas menengah ke atas. Ruang tidak lagi dibatasi oleh dinding dan atap, tetapi juga tempat di mana publik setiap hari melakukan aktivitas sehari-hari, melakukan perjalanan dan sebagainya. Pergeseran arti ruang menyebabkan penamaan galeri saja tidak cukup bagi sebuah tempat berpameran. Rumah seni atau art house atau art space adalah perluasan dari galeri yang semula lebih mengutamakan pameran seni lukis dan berorientasi pada pasar. Sedangkan rumah seni, menyelenggarakan aktifitas seni rupa dalam batasan yang lebih luas, performance art, video art, seni digital, seni musik dengan kecenderungan penggarapan visual yang menonjol.

Rumah seni tidak selalu membangun komunitas seni rupa. Sedangkan komunitas seni rupa adalah institusi dimana sekelompok seniman bergabung untuk menciptakan sebuah ruang untuk berinteraksi, berdialog dan merepresentasikan gagasan dalam bentuk karya dan berkolaborasi. Sedangkan ruang untuk merepresentasikan karya-karya mereka bisa dilakukan ditempat lain, artinya komunitas ini tidak selalu mempunya ruang pamer, meski ada juga komunitas yang mempunyai ruang pamer.

Eksplorasi yang dilakukan komunitas-komunitas baru ini juga memungkinkan kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas dalam pengolahan media, seperti yang bisa dilihat dari gejala belakangan ini, dimana pengolahan media baru (new media) banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas seni rupa, terutama di Bandung dan Jakarta.

*

Komunitas-komunitas yang tumbuh bagai jamur di musim hujan tiga tahun belakangan ini, yang pasti sangat positif bagi terciptanya demokratisasi dalam kebudayaan. Keragaman memang tak terelakkan, hal ini juga menghancurkan mitos pusat dan pinggiran atau pusat dan periferi, maka dari itu lembaga-lembaga yang berorientasi untuk menjadi pusat—seperti Dewan Kesenian Jakarta—haruslah merevisi habis-habisan konsep kelembagaan dan mental para pejabatnya yang merasa sebagai penguasa kesenian. Kesadaran baru harus disuarakan, bahwa demokrasi bukan saja melekat pada kehidupan politik saja, melainkan juga pada sektor kehidupan lainnya termasuk kebudayaan. Kesadaran ini amat penting bagi terselenggaranya kehidupan kesenian agar lembaga-lembaga pemerintahan pusat atau daerah, serta lembaga-lembaga dana yang selama ini hanya melihat bahwa proses demokratisasi ada dalam kehidupan politik, mulai memberi perhatian besar pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup komunitas-komunitas kesenian sebagai kantong-kantong kebudayaan yang ikut membangun demokrasi kebudayaan.

Namun demikian pertumbuhan komunitas-komunitas ini haruslah di kritisi dan diteliti untuk memberikan gambaran yang jelas perubahan kebudayaan apa yang sedang terjadi saat ini. Apakah ini pertanda telah pulihnya iklim demokrasi dan kebebasan kreatif setelah jatuhnya Soeharto? Ataukah pengaruh dari perkembangan seni rupa dunia? Juga mampukah komunitas-komunitas ini menampilkan kelokalan yang mampu mengantisipasi proses globalisasi seni yang terjadi saat ini, sementara ideologi estetis yang melandasi aktifitas komunitas-komunitas tersebut belum jelas?

Untuk itu dibutuhkan penelitian, penerbitan, pendokumentasian dan pengkajian secara teoritis perkembangan seni rupa kontemporer. Telaah terhadap pertumbuhan komunitas dengan latarbelakang ideologinya sama pentingnya dengan acara-acara bienniale atau pameran besar dengan tema mencari kelokalan, penting untuk mengantisipasi terhadap perkembangan seni rupa dunia saat ini, dimana keberadaan seni rupa dunia ketiga dalam percaturan seni rupa dunia telah menjadi kenyataan sejak dua dasawarsa belakangan ini. Kenyataan ini tidak menjadikan posisi seni rupa dunia ketiga sejajar dengan negara-negara Eropa dan Amerika, hegemoni Eropa dan Amerika masih terasa. Hal ini bisa ditengarai bahwa wacana lokal tidak selalu mendapat ruang yang cukup untuk diakomodir. Hegemoni juga terasa dengan model-model kuratorial dalam lokasi internasional maupun regional yang ditentukan oleh penyelenggara (baca Dunia Pertama).

Namun hegemoni ini menjadi tersamar ketika label multikultural disematkan pada setiap kegiatan, sehingga banyak perupa maupun para kurator yang terlibat dalam kegiatan besar, regional maupun internasional tak menyadarinya. Dunia ketiga ternyata juga tak mampu diterjemahkan konsep multikultural secara baik, semua ini bisa dilihat dari ketidakmampuan membaca wacana lokal dalam konteks budayanya. Sementara agenda-agenda besar dengan label pertukaran kebudayaan, lintas budaya atau apalah yang bernafas multikultural diselenggarakan tanpa konsep yang jelas. Contohnya adalah, dalam hitungan hari, minggu atau bahkan bulan sekalipun seseorang diharapkan mampu memahami budaya bangsa lain. Sementara fasilitas dan program dialog antarperupa tidak pernah dirancang dengan baik.



FX Harsono adalah seorang perupa, penulis kritik masalah-masalah sosial dalam seni rupa dan seorang dosen seni rupa. Tinggal dan bekerja di Jakarta, Indonesia.

Catatan
: Saya menggunakan istilah meraba untuk judul tulisan ini, karena memang belum jelas, jadi perlu ada penelitian yang lebih komprehensif.